Mudik euy


Kalau saja dalam arus mudik semua mau antre, maka setiap orang akan mendapatkan jalan. Memang harus menunggu, tetapi esensi antre adalah keadilan. Tiada privilese kecuali bagi ambulans dan mobil pemadam kebakaran.

Tetapi yang terjadi adalah penyerobotan di tengah antrean, di ruas jalan mana pun yang macet. Polisi kerepotan, bahkan putus asa. Seorang bintara duduk kelelahan di atas motornya yang dia parkir di tengah jalan, mengelap peluh, tak peduli lagi serobotan. Polisiwan lain dengan parau berteriak-teriak, “Bapak salah! Jangan ambil jalur orang lain! Antre! Antre! Antre!”

Sabar dulu. Saya tahu Anda bosan membaca ini karena sudah mengalaminya, setidaknya membaca di koran dan menonton televisi. Saya juga tahu Anda akan menukas soal buruknya polisi dalam manajemen arus lalu lintas mudik.

Maka baiklah, langsung ke pokok persoalan: pada titik tertentu para penyerobot dan pengekornya itu menghasilkan simpul kemacetan karena mobil dari arah berlawanan terhalang. Tak ada yang bisa bergerak dari masing-masing arah, kecuali petugas atau relawan turun tangan mengurainya.

Bukankah itu soal biasa? Benar. Tapi khusus dalam kasus mudik kita belajar potret sosiologis Indonesia yang menyedihkan. Sebagian besar pemudik adalah keluarga, membawa anak-anak. Maksud saya, para penyerobot pun membawa anak-anak. Mereka, para orangtua, sejak dini mengajari anak-anaknya untuk mengabaikan hak orang lain dengan cara menyerobot antrean.

Berkali-kali saya diserobot. Ujung-ujungnya adalah sebuah fait accompli. Ada saja mobil yang menyodok antrean. Lampu sen kiri dinyalakan. Jendela kiri dibuka. Tangan melambai minta jalan (sebagian besar tangan perempuan). Hidung mobil langsung memepet untuk beradu klaim asuransi.

Memang tak elok menyalakan street rage dalam sisa Ramadan. Tetapi ada saja yang melakukannya. Beberapa kali penyerobot yang tak saya beri jalan itu akhirnya bisa memaksa mobil di belakang saya untuk mengalah. Dari kaca spion tengah, saya bisa melihat alangkah riangnya keluarga penyerobot itu. Tak ada rasa bersalah. Kenekatan dan ketidakmaluan si ayah adalah kejohanan. Mungkin, bagi orang tertentu, yang beginian bukanlah wilayah akhlak — lain halnya dengan busana, air api, dan aktivitas seksual pribadi.

Saya tak habis pikir kenapa para istri tak menegur suaminya agar tak main serobot (begitu pula sebaliknya kalau istri gantian nyetir) — mungkin ini serupa sebagian istri tak mengingatkan suami agar tak ikut korupsi. Penyakit Jakarta, termasuk melibas bahu jalan, dibawa hingga ke luar kota. Tanpa rasa malu. Dari mobil Rp 48 juta sampai Rp 480 juta lebih sama saja perilakunya — mirip citra stereotipikal sopir angkot. Anak-anak mereka belajar dari orangtuanya tentang cara berlalu lintas tanpa kesopanan, tanpa malu, tanpa rasa bersalah.

Dan kita tahu, cara berlalu lintas menunjukkan tingkat keberadaban. Di Jakarta, anak-anak belajar dari orangtuanya bahwa melintasi bahu jalan tol bukanlah kebodohan (itulah sebabnya ambulans bisa lama banget tiba di tujuan); anak-anak belajar bahwa melangkahi garis marka (yang bukan garis putus-putus) itu mengabaikan keselamatan dan kelancaran orang lain; anak-anak juga belajar bahwa lampu sen dari pabrik itu hanya hiasan. Menyedihkan.

Saya berharap kekhawatiran saya ini salah: sampai 25 tahun ke depan masyarakat kita akan tetap ngawur.

Alasan pembenarnya sih tetap: “Habis, orang lain juga gitu sih.” Atau: “Ngapain jadi orang manis kalau kalah mulu, mendingan jadi orang nakal sekalian”. Didukung oleh korupsi dan lemahnya penegakan hukum, anak-anak itu akan semakin menghalalkan segala cara — tak hanya di jalan raya tetapi juga jalan nafkah.

Selamat datang di Indonesia yang akan semakin selfish. Kalau orang lain dirugikan, itu salah mereka kenapa mau dirugikan. Giluran kita yang dirugikan maka kita pun bicara hak — tapi lupa pernah jadi pelaku. Entah kenapa kita tak pernah bosan dengan lagu keputusasaan, “Habis, sistemnya gitu sih. Kita mah ngikut aja. Ah udahlah, presiden aja gak bisa perbaikin keadaan apalagi kita.”

Saya berharap kekhawatiran saya salah. Tapi saya, dan Anda, juga tahu bahwa Indonesia kelak berada dalam pengurusan anak-anak itu, apapun profesi mereka. (originally Paman Tyo)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar